(mengambil bahan dari naskah Sanghyang Siksakandang Karesian)
Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus mah imah kaeusi, paranjé kaeusi, huma kaoméan, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowé waras, nyéwana sama wong (sa)rat.
(Ini jalan untuk kita mensejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat, sumbernya terletak pada manusia sedunia. )
SENGAJA saya kutip bagian pembuka pada naskah Sanghyang Siksakandang Karesian—selanjutnya disingkat SSK, (ditulis pada 1518 Masehi), dengan harapan dapat kita jadikan salah satu rujukan penting untuk merekonstruksi hal-hal yang terkait dengan etika dan jatidiri ke-Sundaan. Dilihat dari isinya, naskah tersebut lebih mirip sebagai ensiklopedia, yang di dalamnya juga dipaparkan mengenai nilai-nilai kehidupan yang berlaku pada zamannya, termasuk etika dan jatidiri.
Etika Sunda adalah etika yang terbentuk dalam masyarakat Sunda sepanjang sejarahnya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budayanya, Etika Sunda merupakan susunan aturan, norma, dan nilai yang mengatur pola bergaul yang baik dan bermanfat bagi orang Sunda di dalam berinteraksi dengan sesama mereka dan juga dengan orang di luar mereka. Etika Sunda ideal dibentuk berdasarkan etika Sunda yang pernah ada dan diperkaya oleh masukan dari etika luar Sunda. Etika menjadi unsur penting dalam pembentukan jatidiri. Secara sosiologis, kata jatidiri biasanya terkait dengan kelompok, baik bangsa maupun suku bangsa. Jatidiri ke-Sundaan terbentuk dalam proses yang panjang, setelah berinteraksi dengan budaya lain yang datang dari luar. Secara garis besarnya, terdapat lima fase terbentuknya jatidiri ke-Sundaan hingga masa kini, yaitu setelah bersinggungan dengan budaya: (1) Hindu-Budha; (2) Islam; (3) Mataram; (4) Eropa, khususnya Belanda, dan (5) nasional, bahkan global.
Keberadaan manusia Sunda sekarang berikut jatidirinya merupakan kristalisasi dari kelima fase tersebut. Namun ada kecenderungan anggapan, yang disebut Sunda asli biasanya merujuk ke kondisi hingga awal abad ke-16 Masehi, zaman Kerajaan Sunda masih berdiri (masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Pajajaran, dengan raja terkenalnya yang mendapat sebutan Prabu Siliwangi yang dinisbahkan kepada Prabu Sribaduga Maharaja). Anggapan seperti itu mungkin juga karena melihat Sunda sebagai keutuhan dari sudut pandang “politis”, dalam arti Sunda pada masa itu masih betul-betul mandiri.
Kalaulah saya memaparkan bahan rujukan pada naskah SSK bukannya kita harus kembali tenggelam ke masa lampau, melainkan saya ingin mengajak peserta diskusi untuk kembali mengenal warisan budaya lama, sebagai bahan implementasi di masa kini dan yang akan datang. Terkait dengan konteks kekinian, apa yang termasuk warisan lama mungkin ada yang cukup dikonservasi, ada pula yang dapat diinovasi atau dikreasi. Hal itu tergantung pada kebutuhan sesuai dengan zamannya.
Hal-hal yang terkait dengan etika dan jatidiri pada SSK diungkapkan dalam paparan (1) parigeuing yang dijabarkan ke dalam dasa pasanta, atau kemampuan menyampaikan perintah atau ungkapan dialogis yang ditekankan pada bidang leadership; dan (2) pangimbuh ning twah, atau pelengkap agar mempunyai tuah (pamor) dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada kesempatan sekarang, yang paling relevan dibahas adalah materi yang dipaparkan pada pangimbuh ning twah, yang jumlahnya 12 butir.
1. Emét, yang berarti sedikit. Diemét-emét, maksudnya dipergunakan secara hemat. Hal ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu, lebih khusus lagi kekayaan, jangan dihambur-hamburkan, yang dalam istilah sekarang disebut konsumtif.
2. Imeut, yang berati tidak ada yang terlewat atau cermat. Yang bersikap imeut tidak akan melakukan pekerjaan dengan tergesa-gesa, melainkan bersikap tertib, disertai perencanaan yang matang. Karena itu, hasil pekerjaannya akan optimal, sehingga tidak memerlukan (banyak) koreksi, apalagi menimbulkan kontroversi.
3. Rajeun, yang berarti rajin, kreatif, serta inovatif.
4. Leukeun, yang berarti melakukan pekerjaan dengan tekun, tidak (mudah) patah semangat, terus mencoba dan mencoba dengan segenap kemampuan.
5. Pakapradana, yang berarti tidak canggung pada saat harus tampil di depan umum (sonagar) karena merasa percaya diri yang ditopang oleh kemampuan dan penampilan fisik yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya. Selain itu, yang bersangkutan berani bertanggung jawab dalam menghadapi resiko dari apa yang diperbuatnya.
6. Morogol-rogol, yang berarti besar semangat serta sanggup menghadapi tantangan hidup, serta tidak gamang saat menghadapi kesulitan. Morogol-rogol tidak sama artinya dengan murugul, yaitu karakter orang yang tidak tahu batas, ingin menang sendiri, dan tidak bisa diingatkan atau diperingati.
7. Purusa ning sa, yang berarti memiliki jiwa kepahlawanan, berani menegakkan keadilan dan kebenaran. Dengan jiwa kepahlawanannya itu, yang bersangkutan memiliki semangat tolong-menolong yang tinggi, tanpa mengharap balas jasa.
8. Widagda, yang berarti bijaksana, penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, serta antara rasio dan emosi selalu seimbang.
9. Gapitan, yang berarti berani berkorban untuk memuwudkan keyakinan dan cita-cita.
10. Karawaléya, yang berarti dermawan, tidak pelit dalam membagi rijki, peka terhadap kesengsaraan orang lain.
11. Cangcingan, yang berarti yang berati trengginas atau gesit, tidak loyo, tidak berkeluh kesah.
12. Langsitan, yang berarti terampil, cepat menangkap peluang.
Menurut pendapat saya, prinsip-prinsip dasar etika yang menjiwai jatidiri ke-Sundaan di atas masih sesuai dengan kondisi masa kini. Dalam arti, manusia Sunda saat ini yang sudah menjadi bagian dari nasional Indonesia masih bisa mengiplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang Sunda (di atas 90 persen) adalah pemeluk agama Islam. Namun kalaulah kita mencoba memadukan prinsip-prinsip etika dari SSK dengan etika yang bersumberkan ajaran Islam, menurut pendapat saya tidak terdapat hal-hal yang bertentangan. Meskipun prinsip-prinsip etika tersebut warisan budaya Sunda lama, namun dalam pengimplementasiannya sangat mungkin diisi dengan nilai-nilai yang Islami, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Bukankah pada hakekatnya apa yang diperbuat beliau pun seperti itu?
Karena banyaknya kesesuaian antara nilai-nilai Sunda lama dan nilai-nilai Islam, sering kita dengar pendapat bahwa “Sunda itu Islam”. Sebatas pada ranah muamalah, hal itu banyak benarnya, karena kenyataan menunjukkan demikian. Karena itulah, proses Islamisasi di Tatar Sunda sekian abad yang lalu tidak banyak menemui hambatan, karena masyarakat Sunda pada masa itu sudah memiliki nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan ajaran Islam dalam banyak hal.
(Tatang Sumarsono, 21 Juni 2013).
No comments:
Post a Comment