NYANTRI – SIFAT PEMIMPIN ISLAMI
Istilah “nyantri” memiliki konotasi dengan manusia yang meneliti ilmu agama agama Islam di pesantren. Hal iini masih merupakan paradigma di masyarakat kita menginat adanya dikotomi antara definisi sekolah dengan definisi pesantren. Tidak mudah dalam membersihkan paradigma ini walaupun sekarang sudah banyak pesantren modern yang secara komprehensif tidak hanya mengajarkan imtaq (iman dan taqwa) tapi oge iptek. Maka dalam konteks ini penulis harus “mengalah” dar paradigma umum yang menemptkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang orientasinya hanya pada imtaq saja.
Iman dan taqwa yaitu dua parameter sekaligus barometer Islam yang “berbanding lurus”. Semakin tinggi kadar iman seseorang maka semakin dekat ketaqwaannya. Begitu juga sebaliknya. Taqwa sering dikaitkan dengan Allah dan iman. Malahan taqwa permulaannya dari iman. Taqwa tumbuh dari pada iman. Iman yaitu perkara asas yang perlu ditanamkan dalam hati manusia terlebih dahulu. Bila iman yang ditanam itu sudah sejati baru akan lahir taqwa dala, diri manusia itu Sebab iman itu bertingkat-tingkat, tidak semua tingkatan dapat menghasilkan taqwa. Manusia yang beriman belum tentu bertaqwa. Tapi manusia yang bertaqwa pasti beriman.
Taqwa yaitu kumpulan seluruh kebaikan yang pada hakikatnua merupalan perilaku seseorang untuk melindungi dirinya daripada hukuman Allah dan ketaatan secara menyeluruh kepada Ahhal swt. Asal-usul taqwa yaitu menjada dari pada kemusyrikan, dosa dan kejahatan serta hal-hal uang meragukan (syubhat).
Kesimpulan: Sikap nyantri yaitu perilaku yang berdasarkan kepada iman dan taqwa (imtaq). Dalam ilmu psikologi pendekatannya yaitu dengan sikap yang berdasarkan skala kepandaian spiritual (SQ).
Bagaimana keadaan di negera kita, para Koruptor seenaknya berkeliaran gentayangan memeras harta negara, jika terjerat hukumannya sangat ringan bahkan banyak yang lolos. Sebaliknya rakyat yang begitu beratnya bekerja untuk menafkahi keluarganya dibiarkan tanpa ada pembalasan dan imbalan dari Negara!
Maka pantaslah negara ada dalam keaadaan memburuk, koruptor makin merajalela, akhlak pemimpin sungguh memalukan, bahkan Pemimpin puncak pun seperti “banci” tidak ada keberanian dan nyali untuk memperbaiki kondisi ini.
PEMIMPIN
Organisasi, baik formal maupun informal tanpa seorang pemimpin yang baik kemungkinan besar akan menghisap tenaga anggotanya dan kekayaannya dalam kegiatan yang terpecah-belah. Pada sisi lain, manajemen atau pengelolaan organisasi yang efektif akan membawa kepada arah tercapainya suatu tujuan, terkoordinir dan aktifitas yang mengarah kepada tercapainya “goal” dari organisasi.
Para ahli mengakui bahwa manajemen sebuah organisasi adalah faktor dominan dalam memberikan evaluasi berharga dari sebuah organisasi. Pada umumnya setuju bahwa organisasi yang dipimpin oleh manajer yang efektif akan sangat berhasil, sedangkan sebaliknya jika dipimpin oleh pemimpin yang “tidak becus” akan menuju kehancuran.
Manajer atau pengelola (pemimpin organisasi) mempunyai peranan yang sangat penting baik dalam organisasi informal maupun organisasi formal. Perbedaan dalam pelaksanaan organisasi formal dan informal adalah hanya dalam cara saja. Fungsi pengelolaan dilaksanakan dengan tingkatan pendekatan dan pelaksanaan. Manajer dari pada organisasi informal melaksanakan fungsinya secara informal, sedangkan manajer dari pada organisasi formal melaksanakan tugasnya dengan lebih formal. Perbedaan lain bahwa dalam organisasi formal para manager diangkat secara resmi dalam posisi yang resmi (Misalnya dalam kantor-kantor pemerintahan, BUMN, Perusahaan professional dlsb).
Organisasi informal, pada sisi lain, pada umumnya tidak mememerlukan manajer yang diangkat secara resmi. Tetapi “fungsi manajer” seperti “creating-planning-organizing-motivating-communicating-controlling” (kreasi - merencana-mengngelola – memotivasi – berkomunikasi - mengawasi) adalah merupakan elemen vital baik bagi organisasi yang mengurus tempat parkir maupun organisasi pabrik pesawat terbang. Sudah barang tentu bahwa nilai derajat aplikasi dari fungsi ini akan berbeda dan bervariasi antara organisasi formal dan informal. Begitu juga tanggung jawab manajemennya, cara dan metodenya akan berbeda. Organisasi informal mempunyai tendensi untuk membagi tanggung jawabnya di antara para anggotanya. Seseorang harus berperan sebagai kreator, perencana, pengelola, pengarah, penghubung dan pengawas dari sebuah organisasi “Perhimpunan Pemain Gapleh Mingguan”, misalnya. Mereka bisa mengatur siapa di antara anggotanya bertindak sebagai “manajer” sampai pertemuan berikutnya, biasanya “tuan rumah” akan jadi “manajer”. Pada prinsipnya fungsi manajer dilaksanakan di berbagai jenis organisasi baik formal maupun informal.
Fungsi kemanajeran pada esensinya sama baik pada organisasi formal maupun informal apapun tingkatan kedudukannya, jadi seorang manajer akan berkreasi, merencakan, mengelola, memotivasi, mengkomunikasikan dan mengawasinya secara sama walaupun ada perbedaan dalam tujuan dan aktivitas kedua organisasi. Pendeknya pekerjaan manajerial bisa dilaksanakan sama oleh seorang presiden, menteri, direktur jenderal, direktur, gubernur, bupati, kepala sekolah, pemimpin pesantren, RT, RW, Kepala Karang Taruna, Kepala Rumah Sakit dlsb, semuanya sama. Sudah tentu kecakapan non-manajerial dari berbagai organisasi akan berbeda dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lainnya. Oleh karena fungsi kemanajeran itu sama untuk semua jenis organisasi, maka fungsi kemanajeran (pengelolaan) bersifat universal.
Karena bersifat universal, maka fungsi ini bisa dialihkan atau diaplikasikan dari organisasi yang satu ke yang lainnya. Oleh karena itu tak heran jika manager salah satu perusahaan penerbangan bisa pindah menjadi manajer pabrik persenjataan. Manajer PLN bisa dialihkan menjadi Manajer PJKA atau Manager PT Indofood bisa pindah menjadi Manajer PT Kacang Garuda dlsb. Begitu juga pada sector informal, kadang-kadang ada penggantian manajer, Ketua PBSI bisa jadi Ketua KONI, ketua Persatuan Pencak Silat bisa saja jadi ketua perkumpulan Grup Degung atau pemingpin Karang Taruna dlsb. Tak kurang seorang pensiunan Jeneral TNI akan memimpin atau menjadi Rektor Universitas, atau Rektor Universitas kadang-kadang menjadi Gubernur atau Menteri.
Tentu saja ketentuan ini hanya berlaku bagi tingkat manajerial yang seimbang atau setara, tidak mungkin ketua Perkumpulan Tukang Ojek akan pindah atau diangkat menjadi ketua Persatuan Persatuan Astronomer. Kebiasaan ini biasanya hanya berlaku bagi “top manajer” atau tingkat manajerial pada derajat profesionalisme yang tinggi. Tetapi mungkin saja seorang kepala bagian pemasaran Pabrik Sepatu bisa transfer jadi kepala bagian pemasaran Pabrik Baju, atau Manajer keuangan Pabrik Mobil menjadi kepala bagian finansial sebuah Pabrik Tempe, karena persyaratan tugasnya sama, misalnya harus memilik gelar Sarjana Ekonomi.
Manajer sebagai Pemimpin.
Ada kalanya istilah “pimpinan” (leader) dan “manajer” (pengelola) dianggap mempunyai arti yang sama. Sebenarnya tidak demikian. Kepemimpinan (leadership) adalah salah satu aspek penting dalam tugas manajemen, tetapi bukanlah segalanya. Misalnya, perencanaan adalah salah satu fungsi penting daripada pengelolaan, tapi belum tentu memerlukan keterlibatan seorang pemimpin. Pada saat yang sama, seseorang bisa bertindak sebagai pemimpin tanpa harus mengerjakan perencanaan.
Para Manajer juga bisa secara bersamaan menjabat kepemimpinan dengan anggota lainnya di organisasi atau teman sejawatnya. Seorang pemimpin dari satu kelompok kerja bisa menjadi pemimpin yang efektif dibandingkan dengan seorang manajer. Jadi, posisi resmi tidak menjamin bahwa seseorang akan menjadi pemimpin yang dominan, malahan sumber-sumber informal pada suatu kondisi dan situasi tertentu bisa mempengaruhi teman sejawatnya.
Dengan keterbatasan-keterbatasan seseorang ada empat karakteristik yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang baik, yaitu:
- INTELLIGENCE - Kepandaian. Seorang pemimpin harus mempunyai kepandaian dan kecerdikan yang lebih dari bawahannya artinya harus berilmu pengetahuan dan berakal
- SOCIAL MATURITY – Kedewasaan Sosial. Seorang pemimpin mempunyai tendensi untuk bertindak lebih dewasa dan memiliki kesukaan yang lebih luas.
- INNER MOTIVATION & ACHIEVEMENT DRIVES – Motivasi yang Dalam dan Arahan untuk Keberhasilan. Seorang pemimpin ingin sesuatu itu berhasil, ketika tujuannya terpenuhi maka ia akan mencari yang lainnya. Mereka tidak tergantung kepada pihak luar untuk memotivasi dirinya.
- HUMAN RELATION ATTITUDES – Sifat Silaturahmi. Seorang pemimpin dapat bekerja secara efektif dengan orang lain. Menghormati orang lain dan untuk mencapai keberhasilan ia harus mempertimbangkan pihak lain. SEORANG PEMIMPIN ADALAH SEBUAH AKTIFITAS.
Pada umumnya seorang pemimpin tidak terlepas dari aktifitas sebagai berikut:
- ARBITRASI. Pemimpin yang baik adalah seorang “juru penengah” yang baik (wasit). Dapat menyelesaikan konflik di antara anggota organisasi dengan baik dan memberi keputusan yang bijaksana sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
- MENGUSULKAN. Memberi usulan kepada bawahan bahwa suatu perkerjaan akan berhasil lebih baik adalah menandakan seorang Pemimpin yang baik. Misalnya dengan ucapan: “Saya yakin hasilnya akan lebih baik jika dikerjakan dengan cara begini….”.
- MEMBERIKAN TUJUAN. Seorang pemimpin harus memberikan “tujuan ahir” dari pada organisasi agar semua anggota terfokus kepada tujuan tersebut.
- PENDORONG. Dalam satu organisasi sering kali diperlukan suatu dorongan atau gerakan (gebrakan) kuat untuk maju. Seorang pemimpin harus bisa memberikan “daya” ini. Ketika si Pemimpin melakukan ini, ia sedang menjadi PENDORONG bagi organisasi.
- PELINDUNG. Dalam satu organisasi kenyamanan dan keamanan perorangan adalah faktor yang signifikan. Seorang pemimpin dapat memberi perlindungan, pengayoman kepada bawahannya dengan memberikan sikap positif, optimis dan percaya diri.
- MEWAKILI. Seorang pemimpin biasanya adalah wakil dari organisasi, dia bisa bicara atas nama organisasi, pemimpin menjadi symbol dari orgnanisasi. Orang luar kadang-kadang menilai keberhasilan organisasinya atas dasar penilaian pemimpinnya. Sebaliknya jika Pemimpin moralnya rendah, merefleksikan rendahnya juga nilai organisasi di mata umum.
- INSPIRASI. Seorang pemimpin harus menjadi inspirator bagi seluruh anggotanya. Ketika anggota mendapatkan inspirasi dari peimpinnya, mereka akan bekerja sama dengan harmonis menuju apa yang dicita-citakannya.
- PEMBERI PUJIAN. Seorang peimpin yang bijak selalu memberi pujian, appraisal dan hadiah atau penghargaan kepada bawahannya yang telah melakukan tugasnya sesuai dengan apa yang direncanakan.
Kesimpulan, kepemimpinan melibatkan kecermatan dalam mempengaruhi orang lain pada suatu keinginan yang diarahkan. Kepemimpinan adalah salah satu aktivitas dari seorang manajer (pengelola), tapi tugas ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kecakapan dalam memimpin. Belum tentu sang Manajer sendiri mempunyai sifat kepemimpinan.
Pemimpin Islami
Yang akan kami bahas pada halaman-halaman berikutnya adalah syarat-syarat untuk mereka yang bercita-cita akan menjadi seorang pemimpin atau yang sudah menjadi pemimpin secara Islami.
Predikat pemimpin bukanlah mereka yang secara formal menjadi pemimpin, menjabat menjadi pemimpin atau pemimpin organisasi baik besar maupun kecil. Tetapi seseorang yang berkedudukan di rumah tangga pun dia itu telah termasuk kepada kategori seorang pemimpin.
Demikikian pula menurut Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadist yang berbunyi:
“Dan seorang suamu adalah pemimpin di rumahtangga, dan ia bakal dimintakan pertanggung jawabannya dalam hal kepemimpinannya. Dan isteri menjadi pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dipertanyakan akan hal kepemimpinannya” (H.R. Ahmad-Buchari-Muslim-Abu Daud dan Tarmidzi dari Ibnu Umar)
Demikianlah keterangan dalam ajaran Islam, oleh karena itu kami mengambil kesimpulan bahwa ada tujuh syarat untuk menjadi seorang pemimpin itu yaitu:
1) Cinta kepada Allah
2) Cinta kepada Para Rasul
3) Cinta kepada Para Wali
4) Menolak Musuh Allah
5) Takut akan siksa Allah
6) Percaya kepada Rahmat Allah
7) Menjalankan Perintah dan Menjauhi Larangan Allah.
Itulah ketujuh syarat menjadi pemimpin Islami dan jika kesemuanya dijalankan oleh siapapun insyaallah akan menjadi pemimpin yang berhasil dalam menjalankan amanah yang dipikulnya.
1. Mahabbah: Cinta Kepada Allah
Mahabbah atau cinta adalah salah satu pilar Islam dan inti dari ajarannya. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta kepada Allah s.w.t., tetapi mengaku beragama Islam, mereka itulah manusia yang linglung – tidak mengetahui arah dan tujuan dalam menjalani hidupnya.
Demikian jelas dan terbuktinya kecintaan Allah s.w.t. kepada manusia. Ingat saja yang mudah-mudah, misalnya bagaimana jalannya sistem pernapasan, denyutnya jantung dari mulai manusia dilahirkan ke dunia sampai saatnya meninggal kelak, tidak pernah henti-hentinya, baik ketika terbangun maupun tertidur.
Sungguh sistem pernapasan yang sangat setia akan perintah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Belum akan ni’mat-ni’mat yang lainnya, jangan mencoba menghitungnya, itu suatu pekerjaan yang mustahil, karena pasti tidak akan terhitung. Maka apakah ni’mat-ni’mat Allah itu semuanya sudah kita syukuri? Apakah memangnya ni’mat-ni’mat tersebut sengaja dilupakan dan sudahkah kita syukuri?
Apa sebabnya kita harus cinta kepada Allah s.w.t.? Karena Allah telah menetapkan sifat Rahman-Rahim terhadap-Nya.
Tetapi jika sekedar mengucapkan saja memang mudah, anak kecil sekalipun sungguh sangat mampuh mengucapkannya. Tetapi menempatkan arti dan makna “Dengan Menyebut Nama Allah” haruslah kita berhati-hati. Sebab seketika kita mengucapkan “dengan menyebut nama”, pasti bahwa:
- Ada yang kita bawa namanya dan dibawa perintahnya.
- Kita diberi perintah sepenuhnya oleh yang kita bawa namanya (yang memeritah) dengan otoritas penuh.
- Kita sudah diberi kepercayaan oleh yang memerintah.
- Pemberi perintah bertanggung jawab akan memberikan upah kepada yang diperintah.
- Yang diperintah harus sepenuhnya menjalankan segala yang diamanatkan kepadanya untuk disampaikan kepada si penerima amanat.
- Yang diperintah tidak boleh meminta upah kepada si penerima amanat yang dituju.
- Yang memerintah itu adalah Allah s.w.t. yang menciptakan seluruh alam semesta.
- Allah itu bersifat Rahman-Rahim, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, tidak pamrih terhadap apapun, karena Kebesaran dan Keagungan-Nya.
Maka apakah kita benar-benar sudah dapat memenuhi arti, isi dan makna yang sebenarnya dari ucapanBismillahir-rohmanirohiim”? Tanyakanlah kepada diri sendiri!
Berapa lamakah kita berada di dalam RAHIM ibu? Sedangkan arti rahim itu adalah CINTA. Kita berada di dalam rahim rata-rata sembilan bulan, di mana si Ibu merasakan kesusahan, susah berdiri, susah berjalan, susah bangun sekalipun, belum perasaan yang disandangnya, gelisah, was-was, ketakutan dan sebagainya.
Bahkan pada sebelumnya kita dikandung oleh ibu, walaupun kita tidak mengetahuinya secara pasti, tetapi yakin bahwa pada saatnya sang ayah bertemu dengan sang ibu tentu ada dalam keadaan yang penuh “cinta dan kasih”, mustahil ada dalam keadaan pertengkaran.
Dengan dorongan rasa cinta kasih ini yang disebut asmara sehingga sang ayah dan sang ibu mengeluarkan bukti persenggamaan (kama) yang selanjutnya menjadi mani (persenyawaan antara sel mani ayah dan sel telur ibu).
Pada ayat inilah pernyataan sifat Rahman-Rahim diperlihatkan oleh Allah s.w.t.
Ketiga: tatkala ayah-ibu kita menjalankan ijab-kabul dan akad nikah. Maka bagi mereka yang tidak menggunakan akal pikirannya ketenteraman dan kasih sayang itu tidak akan diperolehnya.
Seandainya ayat ini tidak diteliti secara mendalam, sepertinya ayat ini ada unsur keterbalikan, pada masalah timbulnya rasa cinta dan sayang. Karena pada umumnya, timbulnya cinta itu sebelum pernikahan! Yaitu tatkala sedang menjalin perkenalan (berpacaran), sehingga tidak kurang ada ucapan sang pria “aku cinta sampai mati”. Tetapi mengapa tidak kurang setelah 3-6 bulan banyak mereka yang bercerai?
Keempat: ada sebuah Hadits RasuluLlah s.a.w. demikian:
Ada seorang sahabat yang bertanya kepada RasuluLlah s.a.w.: “Ya RasuluLlulah! Apa amal ibadah yang paling cepat diterima pahalanya?”
Sabda RasuLlulah s.a.w.: “Berbakti dan mendekatkan silaturahmi (persaudaraan) itu adalah yang paling cepat diterima pahalanya!”
Berbakti itu termasuk memberi pertolongan kepada yang memerlukannya tanpa pamrih dan meminta upah atau balasan, atau dalam ungkapan Jawa: “Sepi ing pambrih rame ing gawe.”
Selanjutanya RsuluLlah s.a.w. bersabda:
- “Rahim itu itu bergantung di ‘arrasy Allah, barang siapa yang berhubungan denganku, pasti oleh Allah s.w,t, dihubungkannya. Dan barang siapa yang memutuskannya denganku pasti diputuskan oleh Allah”
- Kalian tidak termasuk manusia yang beriman, jika kalian tidak menyimpan rasa kasih-sayang”
Para sahabat menjawab:
“Ya RasuluLlah! Kami semua ini memiliki Rahim (rasa kasih-sayang).”
Mendengar jawaban para sahabat demikian terus RasuluLlah bersabda lagi: tidak diinginkan bawa rasa kasih-sayang itu hanya di antara kamu saja, Aku hanya menginginkan adanya rasa kasih-sayang pada umumnya umat manusia!” (H.R. Buchary-Muslim).
Dari pada hadist di atas kita bisa mengambil beberapa kesimpulan dan pertanyaan sebagai berikut:
- Berapa jauhnya dari dunia ke arasy Allah?
- Kita bisa berhubungan dengan rahim yang menggantung di Arasy Allah itu harus melalui perhubungan dengan RasuluLlah s.a.w.
- Kasih-sayang atau rahim itu bukan hanya untuk segolongan manusia, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Ada serorang ulama tasauf bernaman Jalaludin Rumi*), yang menyatakan demikian:
‘Het Astrolabium (sterrehoogte-meter) van de Goddellijke mysterien is LIEFDE.” …. Hebt God lieft en ge zult alles liefhebben wat Hij u en terwille van hem lief to hebben.“Wie de LIFDE niet kent, kent God niet, want God is LIEFDE.” “God dwingt niemand, want liefde kent geen dwang. Het dienan van God is vrij!’
Terjemahannya:
Astrolabieum (Alat pengukur ketinggian bintang) dari masalah keagungan/kesempurnaan Tuhan itu, yaitu dengan Kasih-sayang” . …. Cintailah Tuhan! Tentu kamu akan mencintai apa-apa yang oleh Tuhan diberikan kepadamu, karena kamu sudah mencintai kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak kenal dalam Kasih-sayang, tidak akan kenal kepada Tuhan, sebab Tuhan itu adalah Kasih-sayang”. Tuhan tidak memaksa kepada siapapun juga, sebab Kasih-sayang itu tidak mengenal paksaan. Menyembah Tuhan itu adalah merdeka”
Kita perhatikan pada ungkapan di atas, berhati-hatilah dalam memaknai “Tuhan tidak memaksa, sebab kasih-sayang itu tidak mengenal paksaan, atau karena Tuhan (baca Allah) itu disebut “cinta”. Sebab jangan-jangan menjadi mandeg atau merasa cukup dengan “cinta” saja, kemudian pada pelaksanaan ibadah yang wajib yang diperintahkan Allah s.w.t. kemudian tidak dilaksanakanya. Ini salah besar! (De Euwige Wijsheid, Aldous Huxley, hal. 91-99 dan 102.)
Jika kita sudah mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, dan manakah sebenarnya petunjuk kepada jalan keselamatan dunia dan akhirat, tidak mungkin kita akan melakukan perihal yang tidak benar. Siapakah manusia yang tidak mengingini petunjuk (ilmu)?
Selanjutnya pada ayat di atas dijelaskan jika kita menginginkan pahala yang besar harus rajin melaksanakan ibadah dan kebaikan kepada Allah. Siapa yang berkeinginan untuk diazab baik di dunia maupun di akhirat kelak? Bila kita sudah sadar dan insyaf akan masalah ini, maka akan faham akan ucapan-ucapam Jalaluddin Rumi di atas.
Pada sisi lain ulama besar Haji Agus Salim pernah berkata demikian:
“Allah mengajar manusia supaya manusia itu bisa dibawa dengan sadar dengan sendirinya, atau oleh suatu pertimbangannya sendiri, akan bersujud kepada Allah dengan sepenuhnya, juga tunduk dan ta’at kepada perintah-Nya. Dengan jalan menerima udang-undang Allah itu tidak bisa dirubah dan tidak bisa dihapus”.
Cinta menurut para ahli Sufi.
Cinta atau Mahabbah adalah sumber ruh yang mendasari ajaran tasawuf. Cinta adalah sumber kecemerlangan Islam. Dalam definisi Al-Muhasibi, cinta diartikan sebagai “kecenderungan hati secara total pada sesuatu; perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta; sikap diri dalam menerima – baik secara lahiriah maupun batiniyah – perintah dan larangannya; dan pengakuan diri akan kurangnya cinta yang diberikan padanya.
Dalam pandangan Al Junaid, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah s.w.t., kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau mentaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela meneripa apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah. (Al-Kabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahli At-Tashawwuf.)
Cinta adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang dicintai dan disukai, kemudian mencurahkan segenap kekuatan dan upaya untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Kesimpulan, cara beribadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satunya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara umum dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah. Mengesakan Allah dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun selainnya.
2. Cinta kepada Para Rasul
Apa sebabnya kita (Pemimpin dan Calon Pemimpin) diharuskan mencintai seluruh Nabi dan Rasul? KarenaNabi adalah seseorang yang menerima wahyu syariat dari Allah s.w.t. untuk dilakukan sendiri.
Sedangkan Rasul adalah seseorang yang menerima wahyu syariat dari Allah s.w.t. untuk dilakukan sendiri dan disampaikan kepada manusia.
Masa kini masih ada Kiai dan santri-santri bila mendengar kalimah-kalimah atau ucapan nabi-nabi seperti misalnya Nabi Isa a.s., atau Nabi Musa a.s. seperti mengacuhkannya atau tidak menerimanya. Padahal dalam masalah harus mencintai para Nabi dan Rasul sudah tersirat dalam Al Qur’an Surat An Nisā’ ayat 152:
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. 4:152)
Perlu diingat bahwa Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan, Rukun Iman antara lain Warusullihi, kita harus percaya kepada Utusan Allah.
Syariatnya percaya kepada para Nabi, walaupun jasadnya semuanya sudah wafat. Jadi apa yang harus kita percayai sekarang? Hakekatnya sifat-sifat nabi yang ada pada wujud manusia, yang ada pada badan manusia. Percaya akan tekad dan rasa wujud kita, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman dan pengucapan.
Apakah kalian tidak percaya kepada hidung kalian jika mencium sesuatu baunya itu wangi? Apakah kalian tidak percaya bahwa warna yang dilihat itu adalah merah, kemudian kalian katakan putih? Apakah kalian tidak percaya bahwa yang berbunyi itu burung, bukan harimau? Siapa lagi yang akan mempercayai apa yang kalian dengar, lihat dan rasakan jika bukan kalian sendiri? Oleh karena itu Rasul itu tidak pernah dusta, rasul itu adalah Rasa Allah, yang pahit yang dikatakan pahit, yang asin ya dikatakan asin, yang merah bukanlah putih, suara burung bukan suara lembu. Itulah kejujuran sang Rasul, dan kita harus mempercayainya. Itulah Warusullihi.
Kita sudah maklum bahwa setiap umat dan setiap Jema’ah mempunyai rasul.
Kesimpulan.
Iman dan Marifat kepada Allah, harus diikuti dengan iman dan marifat kepada Rasul-Nya. Karena tanpa melalui Rasul kita tidak akan pernah mengenal Allah s.w.t. Marifat kepada Rasul meliputi kepercayaan bahwa Nabi atau Rasul adalah teladan yang ditetapkan Allah s.w.t. untuk para umatnya. Allah menyebutkan bahwa seseorang yang mentaati Rasul-Nya sesungguhnya ia telah taat pula kepada Allah, simak firmanNya:
Seorang ahli tasawwuf terkenal Sahl bin Abdullah At-Tusturi mengatakan: “Tidak ada yang bisa menolong kecuali Allah, tidak ada dalil kecuali dari RasuluLlah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak ada perbekalan selain takwa dan tidak ada amal selain sabar.”
3. Cinta kepada Para Wali
Siapa wali-wali itu? Wali menurut Al Qur’an yaitu apa yang tersurat dalam firman Allah berikut ini:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.(Q.S. Yunus: 62-64).
Jadi menurut ayat di atas wali-wali Allah itu adalah orang yang:
1) tidak ada kekhawatiran terhadap mereka;
2) tidak pula mereka bersedih hati;
3) yang beriman;
4) mereka selalu bertakwa;
5) Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan di akhirat.
Jadi wali itu tidak terbatas kepada “wali-sanga” saja tetapi meraka yang termasuk kriteria di atas.
Lalu apa sebabnya kita harus cinta kepada Wali Allah? Karena wali itu adlaah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Maka mustahil manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dan telah diakui-Nya tidak dapat memberikan “pertolongan” (melalui ilmu dan ajarannya) kepada kita.
Wali dapat juga diartikan sebagai ulama pewaris dan penerus Rasul dan mereka yang mengetahui akan kebesaran Allah, sehingga mereka takut kepada Allah.
Seorang sufi Islam terkenal Ibnu Taimiyah membahas tentang kecintaan seorang murid kepada gurunya. Menurutnya, mencintai guru yang melanggar syariat akan menyebabkan kebinasaan. Sebaliknya, mencintai wali Allah, seperti Khulafaur Rasyidin dan orang-orang saleh, “adalah salah satu sendi keimanan dan kebaikan paling baik bagi orang yang bertakwa”. *)
Orang-orang yang memiliki kehendak yang saleh dan cinta yang sempurna, mempunyai kemampuan yang sempurna adalah pimpinan para pencinta yang dicintai Allah dan berjuang di jalan Allah. Mereka laksana As-Sabiqunal Awwalun (Kaum Muhajirin dan Anshar). Selanjutnya Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa cinta yang murni dimiliki oleh orang-orang seperti ini. Cinta seperti ini mendorong mereka untuk melakukan amal wajib dan sunnat.
4. Menolak Musuh Allah
Siapakah musuh Allah itu? Sebenarnya Allah tidak mempunyai musuh, maka musuh Allah itu tidak ada, sekalipun Iblis itu bukan musuh Allah, tetapi makhluk ciptaan Allah. Logika saja, siapa makhluknya yang sanggup menjadi musuh Allah, siapa yang sanggup melawan Yang Maha Gagah, Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Kuasa.
Tetapi makna “musuh Allah” di sini adalah “ajakan, bujukan dan bisikian Iblis. Walaupun Iblis sekalipun, setelah di’lanat Allah, tatkala ia mengajukan permohonan kepada Allah maka permohonannya dikabulkan oleh Allah, demikian Rahman-Rahimnya Allah.
Yang sebenarnya bahwa iblis itu bukan membenci Allah tetapi membenci anak-cucu Adam, yaitu manusia pada umumnya. Jadi dengan demikian jelas, apakah kita akan menuruti bujukan dan ajakannya (iblis) yang tidak benar? Lalu siapakah iblis (dan setan) itu?
Jadi “musuh Allah” adalah godaan, bisikan, bujukan iblis dan syetan yang menjerumuskan kita ke jalan yang dila’nat Allah. Jin dan syeitan dalam mengganggu keimanan manusia melalui duabelas pintu masuk, yaitu:
- An-Nazkh – GODAAN
Was-was, kadang-kadang mengantarkan kepada keraguan dan kerusakan aqidah.
- Al-Hamas – BISIKAN
Penquasaan syeitan atas diri manusia dengan membuatnya tidak sadar yakni dalam kondisi kesurupan pada saat jin masuk ke dalam diri seseorang
- An-Nafkh – TIUPAN-TAKABUR
Takabur dan pongah, sombong terhadap makhluk Allah lainnya.
- An-Nafts – HEMBUSAN/UCAPAN BURUK.
Ucapan yang kotor yang membangkitkan emosi buruk.
- Al-Hudhur - Kehadiran Jin dan Syeitan.
Hadirnya syeitan-syeitan di rumah yang menghilangkan berkah.
*Al-Mass – SENTUHAN SYEITAN
Kehadiran syeitan dalam tubuh.
*Al-Istimta – MENYESATKAN
Sihir yang mendatangkan syeita
*Al-waswaah –KEMAKSIATAN
Yaitu pendamping (qorin) sahabat jahat manusia yang selalu membisikan kebathilan
*Al-Uzz – HASUTAN
Mengorbankan rasa benci, pelecehan
*At-Tanazzul – PENDUSTAAN
Melakukan kebohongan, mendorong kekafiran penentang terhadap Allah, Surat Asy Syuaraa
*Al-Istihwa – NAFSU SYAHWAT
Mendorong nafsu dan nafsu syahwat
*Ath-Thaif – LUPA
Was-was yang gelap dan menyihir, perbuatan yang buruk.
Kesimppannya memang benar ada hubungan antara napsu dan syeitan, Rasulullah s.a.w. bersabda : “Musuh kami yang paling jahat dan paling hebat, ialah napsu kamu yang ada pada diri kamu sendiri.”
5. Takut Kepada Siksa Allah
Apakah Allah suka memberikan siksaan? Masa Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang senang memberikaan siksaan?
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.(Q.S.Yunus: 44)
Maka dengan demikian berdasarkan ayat di atas Allah itu tidak memberikan siksaan, tapi justru manusia sendiri karena atas perbuatannya sendiri ayau mendzalimi dirinya sendiri. Dengan demikian pula bahwa makna “takut akan siksa Allah” adalah “jangan mendzalimi diri sendiri”, atau berbuat baik agar menjauhi azab akibat dari perbuatan dzalim.
Mengapa manusia tidak boleh bertindak dzalim? Dasarnya adalah sesuai Surat Ali Imran ayat 192:
Ya Rabb kami, sesungguhnya barang siapa yang (Allah) masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah (Allah) hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun. [Q.S.3:192]
Orang dzalim itu tidak diberi petunjuk, simak Firman Allah berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim. [Q.S. Al Baqarah:254]
Tidak dibenarkan untuk bertindak dzalim itu kepada Diri Sendiri, Ciptaan Allah dan Kepada Allah, karena orang dzalim itu digolongkan sama dengan orang kafir: Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim. [Q.S.Al Baqarah:254]
6. Percaya Kepada Rahmat Allah
Percaya kepada Rahmat Allah berarti mensyukuri nikmatnya dan menghilangkan rasa tidak berterima kasih kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Bila kita mendapatkan rahmat artinya kita mendapatkan petunjuk dari Allah s.w.t.
Menjadi pemimpin berarti mengemban amanah umat, menjalankan tugas di jalan Allah adalah ibadah, salah satu pengharapan adalah mengharapkan rahmat Allah.
Dan mereka yang diberi rahmat nampak cerah mukanya dan dijauhkan dari azab, bila dijauhkan dari azab sungguh mendapatkan suatu keberuntungan.
Dari manakah untuk mendapatkan rahmat? Tidak lain kecuali dari sumbernya rahmat yaitu dari Allah s.w.t. yang telah dicurahkan dalam kitab-Nya.
Apakah yang sebemarnya rahmat itu? Tiada lain adalah syurga yang kekal.
7. Melaksanakan Perintah dan Menjauhi Larangan Allah
Dalam Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah, ini adalah merupakan kiat utama untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Pada intinya, dari syarat pertama sampai terakhir, semuanya adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Tetapi yang paling pokok dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah adalah: beribadah – atau melaksanakan ibadah.
Apa ibadah itu?
Pemahaman yang benar tentang konsepsi ibadah di kalangan generasi awalin, yaitu generasi pertama pada zaman Rasulullah (dikenal dengan sebutan Jiilul Awwal al Farid), adalah memahami iman secara benar, memasukkan amal-amal dalam kawasan iman dan tidak membatasi pengertian ibadah hanya sekedar syiar-syiar ta’aabbudi.
Pengertian ibadah bukan sekedar melakukan syi’ar-syi’ar ‘Ubudiyyah belaka. Perilaku demikian tidak bisa diartikan sebagai keseluruhan ibadah yang dituntut dari setiap insan. Ibadah harus selalu dimulai dengan semangat ketauhidan, meyakininya secara uluhiyyah, rububiyah maupun Asma’, sifat dan af’al-Nya sebab hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak mengyandang kesempurnaan itu.
Pengertian dan pemahaman golongan awalan (Generasi Rasulullah dan Sahabat) dari kaum Muslimin tentang ibadah yang sempurna dan luas serta mendalam, sungguh sangat jauh dan berbeda dibandingkan dengan pemahaman golongan akhirin (generasi sekarang) yang serba sempit dan dangkal.
Pemahaman yang benar tentang konsep ibadah di kalangan golongan awalan kaum Muslimin adalah bahwa ibadah kepada Allah s.w.t. merupakan tujuan penciptaan umat manusia.
Dalam aspek inilah manusia seharusnya benar-benar dapat merasakan kebesaran Allah s.w.t. sehingga sebagai hamba mengikuti tujuan ibadah itu dengan sebaik-baiknya. Manusia harus menempatkan dirinya sebagai hamba Allah s.w.t., dan menempatkan Allah dalam Uluhiyyah-Nya dengan beribadah secara ikhkas kepada-Nya serta menghambakan diri kepada-Nya.
Dengan demikian, pengertian ibadah bukan sekedar melakukan syi’ar-syi’ar ‘Ubudiyyah saja, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan golongan awalan, karena mereka memahami Islam sekedar bungkusnya saja, tidak dari pengertian Islam yang sebenarnya.
Syi’ar-syi’ar ta’abbudi tidak bisa diartikan sebagai keseluruhan ibadah yang dituntut dari setiap umat manusia. Jika demikian, lalu apa maksud penciptaan manusia menurut firman Allah tadi, hanya beribadah kepada-Ku? Bagaimana mungkin ibadah yang mempunyai arti luas hanya diartikan sebagai syi’ar ta’abbudi?
Pertanyaan yang harus secara jujur dijawab oleh setiap Muslim:
- Berapa banyak waktu kita dihabiskan untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar ta’abbudi selama sehari-semalam dalam setahun?
- Sudah seberapa jauh dilakukan dan menghabiskan waktu berapa tahun dari umur kita sebagai manusia?
- Kemudian untuk apa sisa umur kita dan sisa kemampuan kita?
- Digunakan untuk apa dan ke mana perginya?
- Apakah sisa waktu dan kemampuan kita digunakan untuk maksud di luar ibadah ataukan untuk ibadah?
- Jika bukan untuk ibadah, lalu apa arti maksud hidup bagi manusia “beribadah” seperti disebutkan dalam ayat di atas?
- Bagaimana tujuan ibadah yang diisyaratkan dapat terwujud?
- Bagaimana mungkin manusia dapat mewujudkan maksud dan tujuan hidupnya tanpa mendapat restu dari Allah s.w.t.?
Sejauh mana manusia beribadah kepada Allah?
Seperti telah dikemukakan di atas, manusia tidak mungkin mewujukan makna ibadah dengan hanya melakukan syi’ar-syi’ar ta’abudi saja, seperti telah diwajibkan oleh Allah dalam melakukan shalat, menunaikan zakat dan menunaikan ibadah haji.
Manusia bukan malaikat, sebab malaikat adalah makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dari cahaya, di mana manusia diciptakan dari tanah dan air. Malaikat menghabiskan waktunya siang dan malam bertasbih tiada hentinya.
Sesungguhnya bahwa seluruh alam bertindak sebagai hamba, mengabdi kepada Rabb-Nya sesuai dengan perintah-Nya, kecuali jin dan manusia yang durhaka, tentu menurut caranya masing-masing.
Sedangkan manusia yang diciptakan dari segenggam tanah liat dan tiupan ruh Allah, dilengkapi dengan ruh halus, dibentuk dari jasad yang bersifat teguh dan goncang, makan dan minum, kadang lelah dan kadang tidur.
Manusia diberi akal dan pikiran untuk memikirkan tuntutan hidupnya, juga berupaya melepaskan diri dari bahaya yang mungkin timbul pada keadaan tertentu.
Manusia tidak akan mampu beribadah kepada Allah s.w.t. seperti yang dilakukan oleh malaikat yang tidak mempunyai kesibukan lain selain bertasbih dan menuruti perintah Allah s.w.t.
Seandainya Allah s.w.t. memberikan taklif kepada manusia berupa ibadah seperti malaikat, tentu Allah juga akan memberikan kemampuan kepada manusia seperti kemampuan yang dimiliki malaikat. Dengan rahmat-Nya, Allah tidak menuntut manusia kecuali sebatas kemampuannya. Beliau menjadikan ibadah sebagai kewajiban bagi makhluk-Nya, sesuai dengan pembawaan dan batas kemampuan masing-masing sifat wujudnya.
Ibadah itu tidak meyiksa dan tidak menyusahkan dan membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya, sehingga ia benar-benar memenuhi keberadaannya secara menyeluruh dan usianya pun diisi dengan taklif sampai maut menjemputnya. Tak ada perbuatan kecuali dalam kerangka ibadah.
Walaupun demikian manusia harus berusaha untuk melaksakan ibadah itu secara ikhlas dan sepenuh hati.
Sarana ibadah.
Untuk melaksanakan ibadahnya Allah telah membekali manusia dengan keterampilan tertentu dan mengajarkan ilmu pengetahuan menurut keperluan penciptaannya. Allah juga menyediakan berbagai sarana yang dapat membantu manusia melaksanakan tugasnya.
Tugas ibadah memang cukup berat, apalagi jika kita perhatikan bahwa keadaan manusia secara keseluruhan selalu bersusah payah dan bersungguh-sungguh.
Apa yang harus dilakukan dalam ibadah?
Ibadah harus selalu dimulai dengan semangat ketauhidan, yakni dengan mengikrarkan “laa ilaaha illallah”,meyakininya secara uluhiyyah, rububiyah maupun Asma’ dan sifat-sifat-Nya serta af’al-Nya, sebab Beliaulah satu-satunya yang berhak menyandang sifat kesempurnaan.
Akibat dari pengucapan “laa ilaaha illallah” adalah menerima Islam secara utuh dengan tingkatan keterikatan masing-masing. Seorang hamba dapat dikatakan telah beriman bila telah menegakkan akhlak-akhlak “laa ilaaha illallah” dan kewajban-kewajiban lain yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. Dengan melaksanakan akibat tersebut maka sempurnalah keimanan seorang hamba.
Dalam syiar’syiar ta’abbudi terkandung hikmah yang jelas, yaitu hubungan hati yang berkesinambungan dan senantiasa diperbaharui antara hamba dan Khaliknya. Ini merupakan bekal yang sangat diperlukan olah manusia dalam menempuh perjalanan menuju Rabbnya.
Proses Ibadah
Arti Ibadah pada proses pelaksanaannya yaitu semua yang mencakup segala perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perbuatan maupun perkataan, baik dhahir maupun bathin.
Proses Ibadah melalui empat tahapan:
- Pengenalan
- Penelitian
- Penyatuan
- Kasih Sayang à menjadi kebutuhan
Obyek ibadah yaitu:
- Hanya menyembah Allah sesuai dengan yang disyariatkan.
- Nabi menjadi utusan Allah yang menyampaikan ajaran.
- Penghambaan diri kepada Allah.
- Merendah dan tunduk:
- Tatayum – penghambaan
- Alaqah – keterpautan
- Syabbabah – kerinduan
- Gharam – kasih
(Disunting dari Buku "5N" - karya Ki H Dr. Ihwan Natapradja & Luki Bahtiar. Penerbit SKKS Media Publication 2013.
Dan beginilah kami orang sunda berfikir...salam takjim buat Ki H Dr.Ihwan Natapradja & Kang Luki Bahtiar....Estu reueus.
ReplyDeleteKatampi pangbaktosna!
ReplyDelete